Bagan Siapi Api - Bermula dari tuntutan kualitas hidup yang lebih baik lagi, sekelompok orang Tionghoa dari Propinsi Fujian – Cina, merantau menyeberangi lautan dengan kapal kayu sederhana.
Dalam kebimbangan kehilangan arah, mereka berdoa ke Dewa Kie Ong Ya yang saat itu ada di kapal tsb agar kiranya dapat diberikan penuntun arah menuju daratan.
Tak lama kemudian, pada keheningan malam tiba2 mereka melihat adanya cahaya yang samar-samar. Dengan berpikiran dimana ada api disitulah ada daratan, akhirnya mereka mengikuti arah cahaya tersebut, hingga tibalah mereka di daratan selat Melaka.
Mereka yang mendarat di tanah tersebut sebanyak 18 orang. Mereka inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur Bagansiapiapi.
Di daerah yang baru mereka tempati (bagansiapiapi) mereka menemui banyak ikan, dengan ikanlah mereka bertahan hidup hingga beranak pinak dan mereka juga mengajak keluarga dari negeri tirai bambu datang kebagansiapiapi, sehingga jumlah masyarakat Tionghoa kian banyak.
Setelah sekian lama menetap di Bagansiapiapi pada tahun 1875 masyarakat Tionghoa disana membangun sebuah kelenteng dan diberi nama Klenteng In Hok Kiong. Pada 1928 kelenteng ini dibuat secara permanen. Disinilah Dewa Kie Ong Ya disembahyangkan secara utuh/asli saat leluhur pertama kali menginjak kaki di tanah Bagansiapiapi.
Hingga saat ini Klenteng In Hok Kiong digunakan untuk aktivitas keagamaan dan ritual lainnya, seperti cap go meh, tempat pelaksanaan ritual kematian, serta tempat dimulainya pengarakan replika tongkang dalam acara festival bakar Tongkang.
Sejarah Bakar Tongkang di Kota Bagansiapiapi Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau tidak terlepas dari sejarah berdirinya Kelenteng Ing Hok Kiong, yang dibangun sekitar tahun 1826 oleh para pendatang etnis Tionghoa dari Frovinsi Fu-Jian di Negara Cina.
Para perantau ini datang ke Kota Bagansiapiapi karena terdampar di muara Sungai Rokan ketika mereka melarikan diri dari Negara Cina karena terjadinya kerusuhan. Mereka mengarungi samudera luas hingga akhirnya mereka terdampar di muara Sungai Rokan, di tepian Selat Melaka.
Jumlah perantau yang melarikan diri dari negeri Cina lebih kurang seratus orang dengan menggunakan lima buah armada tongkang. Namun, yang selamat sampai ke muara Sungai Rokan hanya satu unit tongkang, dengan jumlah penumpangnya sebanyak delapan belas orang,
Terdiri atas Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian dan An The nisTui. Mereka inilah yang dikenal belakangan sebagai nenek moyang penduduk etnis keturunan Cina Kota Bagansiapiapi.
Menurut kepercayaan masyarakat etnis keturunan Cina Kota Bagansiapiapi, selamatnya kedelapan belas orang perantau itu sampai di muara Sungai Rokan tidak terlepas dari bantuan Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Su karena patung kedua Dewa tersebut berada di dalam tongkang yang mereka tumpangi, sementara perantau lainnya yang berada ditongkang yang lain hilang di tengah samudera karena diterjang badai.
Atas ucapan rasa syukur dan rasa hormat mereka kepada kedua dewa tersebut, para perantau itu membangunkan kelenteng untuk tempat disemayamkannya kedua patung dewa yang menyertai mereka dalam perjalanan mengarungi samudera.
Sampai saat ini, kelenteng tua yang dibangun sekitar tahun 1826 ini terletak di jalan Aman/Kelenteng Kota Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau, masih tetap berdiri kokoh dengan bentuk aslinya.
Dan kelenteng ini sering dikunjungi oleh warga etnis turunan Cina pada setiap acara acara keagamaan. Dari kelenteng ini pulalah dimulainya acara ritual Bakar Tongkang yang diadakan pada setiap tahunnya, yang dihadiri oleh ribuan etnis turunan Cina dari seluruh penjuru dunia.
Masyarakat etnis Cina Kota Bagansiapiapi menganggap Kelenteng tua ini menyimpan keajaiban dan keunikan. Ketika Kota Bagansiapiapi diamuk sijago merah, sekitar tahun delapan puluhan, yang menghanguskan ratusan bangunan rumah penduduk yang berada di sekitar kelenteng, satu-satunya bangunan yang tidak terbakar adalah bangunan kelenteng tua ini.
Dan sampai saat ini, keajaiban yang tersimpan di dalam bangunan kelenteng tua itu tetap dipupuk dengan baik oleh masyarakat etnis turunan Cina Kota Bagansiapiapi sampai anak-cucu mereka.
Jika berkunjung ke Kota Bagansiapiapi, tidaklah terasa lengkap jika belum mengunjungi bangunan bersejarah Kelenteng Ing Hok Kiong yang dibangun pada tahun 1826 itu.
0 komentar:
Posting Komentar